14 January 2024
JABODETABEK.INFO - Jakarta , Pada tanggal 4 Januari 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani revisi kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Pemerintah menyatakan bahwa revisi tersebut dilakukan untuk mengatasi multitafsir dan kontroversi yang masih ada dalam aturan sebelumnya. Namun, ternyata, revisi tersebut masih menimbulkan kekhawatiran karena beberapa pasal dianggap masih ambigu dan kontroversial.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius), yang terdiri dari berbagai organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan lainnya, turut mengkritisi beberapa pasal dalam revisi tersebut. Mereka mencatat adanya pasal-pasal yang dianggap bermasalah terkait dengan pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.
Beberapa pasal yang dipermasalahkan termasuk Pasal 27 ayat 1 dan 2, yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi warga sipil terkait penyebaran informasi elektronik yang dianggap melanggar kesusilaan atau perjudian. Pasal 28 yang berkaitan dengan penyebaran informasi palsu dan hasutan kebencian juga menjadi sorotan Koalisi Serius.
Pasal-pasal baru seperti Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang, serta Pasal 27B tentang ancaman pencemaran, juga dikritik karena dianggap masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang bersikap kritis. Koalisi Serius juga mencermati Pasal 40 dan Pasal 45A, yang memberikan kewenangan besar kepada pemerintah untuk memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan melanggar hukum.
Koalisi Serius mengecam kurangnya transparansi dalam proses pengundangan revisi kedua UU ITE oleh DPR RI dan menolaknya karena dianggap mengabaikan partisipasi publik serta melanggengkan pasal-pasal yang dapat digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpotensi melanggar hak asasi manusia. Mereka mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU ITE tidak digunakan secara semena-mena dan untuk melibatkan publik dalam setiap pengambilan keputusan terkait regulasi ini.
"Yang pasti kan pemerintah ingin menjaga ruang digital kita lebih kondusif dan lebih berbudaya," jelasnya.
Ketua Umum Relawan Pro Jokowi (ProJo) itu menyampaikan pemerintah akan membuat ruang diskusi untuk membahas pasal-pasal dalam revisi UU ITE yang dianggap bermasalah. Dia memastikan tak akan semena-mena dalam menerapkan revisi UU ITE jilid II ini.
"Ya pasti dong, kan ada case-nya apa. Kita enggak mau semena-mena kan. Ini negara demokrasi kita perjuangin susah payah loh, masa demokrasi kita jadi caci maki dan sumpah serapah," tutur Budi.
Dia mengatakan masyarakat tak perlu takut dengan revisi UU ITE jilid 2 ini. Pemerintah, kata Budi, tak akan memberikan sanksi begitu saja apabila masyarakat tak melanggara aturan.
"Ini ketakutan sama bayangan sendiri, kalau kalian baik-baik enggak usah takut kan. Ya kalau produksi hoaks masa kita tolerir," ucap Budi.
Heru Sutadi, seorang pengamat telekomunikasi dan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, mengharapkan revisi total terhadap UU ITE. Menurutnya, dalam revisi tersebut, pemerintah dan DPR seharusnya tidak hanya melakukan tambal sulam, melainkan melakukan perubahan menyeluruh. Beberapa pasal kontroversial yang dianggap merugikan masyarakat masih ada, dan Heru berpendapat bahwa revisi seharusnya lebih fokus pada mendorong pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
Salah satu kritik Heru adalah terkait dengan Pasal 28 yang awalnya terkait dengan e-commerce tetapi kemudian ditarik ke ujaran kebencian berdasarkan SARA, meskipun tidak terkait dengan e-commerce. Penambahan Pasal 27A dinilai membingungkan dan dapat disalahgunakan lebih banyak daripada Pasal 27 ayat 3 yang telah memiliki banyak korban. Heru mengapresiasi adanya perlindungan anak di internet yang diperkuat oleh Pasal 16A, di mana penyelenggara sistem elektronik diwajibkan menyediakan informasi terkait anak.
Di sisi lain, Pengamat Teknologi Informasi Pratama Persadha berpendapat bahwa revisi UU ITE sudah memenuhi harapan publik. Beberapa pasal karet dihilangkan, seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui saluran elektronik. Revisi juga mencakup pasal tentang hoaks atau berita bohong, seperti Pasal 28 ayat (3). Pratama menilai rumusan pasal yang jelas dan tegas dapat menghindari multitafsir dan kriminalisasi pasal karet.
Namun, Pratama menekankan bahwa kebebasan berekspresi juga harus memiliki batasan, terutama untuk mencegah ekspresi yang dapat menyinggung kelompok atau agama tertentu dan menimbulkan masalah sosial. Selain itu, Dave Laksono, anggota Komisi I, menyatakan bahwa akan ada turunan hukum dari UU ITE yang baru, yang dibuat oleh Kepolisian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kumham), atau Kejaksaan. Produk hukum ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan kepastian terkait hal-hal yang dianggap multitafsir dan menimbulkan keraguan.