Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres Dinilai Langgar Konstitusi

22 October 2023

JABODETABEK.INFO, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023 soal batas usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) menuai polemik. Bakan, putusan tersebut dinilai melanggar konstitusi.

Hal itu dikatakan Koordinator Tim Pembela Dekokrasu Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus dalam diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) bertajuk “Keputusan MK, Adil Untuk Siapa,” Sabtu, 21 Oktober 2023 di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Menurut Petrus Selestinus, keputusan MK berpotensi melanggar konstitusi dan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 berpotensi melanggar rambu-rambu berupa asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 3, 4, dan ayat 5, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No. 48 Tahun 2009, putusan MK itu menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya,” ucap Petrus.

Selain itu, Petrus menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan Ketua MK Anwar Usman berpotensi dilaporkan secara pidana ke aparat hukum. Khusus Anwar Usman dapat diadukan ke Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi untuk diproses atas dugaan pelanggaran etik dan berujung pemecatan.

"Jika Gibran Rakabuming dipasangkan sebagai capres atau cawapres, dengan menggunakan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, maka akan berpotensi digugat karena menggunakan putusan MK yang boleh jadi tidak sah," kata dia.

Perindo: Putusan MK Bukan untuk Orang Muda

Pada diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) yang didirikan Emrus Sihombing ini, Ketua DPP Perindo Bidang Hukum dan HAM Tama S Langkun menyoroti tajam terkait dengan Keputusan MK tanggal 16 Oktober 2023 itu.

"Menurut saya putusan ini tidak untuk orang muda. Putusan MK seperti ini untuk mendorong orang muda, seperti yang digembor-gemborkan, ini tidak sama sekali untuk orang muda. Putusan ini tidak bilang begitu. Putusan ini bilang begini; berusia pada usia 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih secara langsung termasuk pemilihan kepala daerah. Ini berbicara tentang orang yang dipilih langsung melalui pemilu. Ini hanya bicara soal mungkin saja ada kepala daerah yang 40 tahun yang dijagokan," urai Langkun.

Selain itu, Langkun juga merasa aneh dengan MK yang tiba-tiba melonggarkan soal legal standing. Dia mengaku pernah menggugat MK namun ditolak lantaran legal standingnya dianggap tidak sah. Sementara, dalam kasus batas usia capres-cawapres ini, seorang mahasiswa dianggap sah menggugat oleh MK.

"Sekarang tampaknya longgar. Kenapa longgar? Ada mahasiswa pengagum Wali Kota Solo, tiba tiba punya legal standing untuk menggugat. Alasannya, karena mahasiswa anak muda. Kan tidak ada hubungannya juga. Sebab, yang digugat materi tentang kepala daerah maju menjadi calon presiden/wakil presiden," kata Langkun.

"Jadi, legal standing ini agak aneh. Kami juga pernah mengajukan permohonan gugatan ke MK, tapi ditolak karena legal standing tidak jelas. Nah, sekarang mahasiswa tiba-tiba diterima," kata Langkun membandingkan.


Putusan MK Dinilai Merusak Norma Hukum yang Dijunjung Tinggi oleh Konstitusi

MK Minta Masyarakat Sabar Tunggu Putusan Batas Usia Capres-Cawapres -  Kompas.id

Pertanyaannya, kata Emrus, hanya kepada kepala daerah yang boleh menjadi calon presiden atau wakil presiden sekali pun usianya di bawah 40 tahun.

“Kalau misalnya alasannya adalah persoalan kepala daerah adalah dipilih langsung oleh rakyat, bukankah anggota legislatif di semua tingkatan dan DPD RI dan kepala desa dipilih langsung oleh rakyat? Jadi, keputusan MK berpotensi menyakiti dan melukai hati rakyat karena keputusan tersebut jauh dari rasa keadilan masyarakat dalam bidang politik demokrasi,” ujarnya.

Karena itu, keputusan MK tersebut harusnya juga memuat bahwa kepala desa, anggota legislatif di semua tingkatan dan DPD RI bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden sekali pun usianya di bawah 40 tahun.

Sebab mereka memperoleh posisi atau jabatan tersebut karena dipilih oleh rakyat, sehingga lebih rasional sekalipun tetap belum sejalan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Kemudian kita lihat dari sudut lebih makro lagi. Apa memang pemberian privilege itu kepada kepala daerah, bahwa mereka lebih berjasa untuk membangun bangsa dan negara? Saya kira tidak juga. Artinya apa? Kita boleh dong dari berbagai sumber yang ada di masyarakat, misalnya pengusaha, dosen, wartawan, petani, nelayan, buruh pabrik, penarik becak menjadi calon presiden atau wakil presiden," kata Emrus. 

"Ada dosen di negeri ini masih muda, di bawah 35 tahun sudah doktor dan tulisannya berkualitas internasional. Secara kualitas, dosen tersebut tidak kalah, atau di atas kemampuan dari seorang kepala daerah yang mungkin maju sebagai calon presiden/wakil presiden pada Pemilu 2024.